Bab 1: Hilangnya Angin
Angin malam di sebuah desa kecil bernama Rembulan seharusnya terasa sejuk dan membawa aroma daun basah. Namun malam itu, angin seolah-olah menghilang, digantikan oleh keheningan mencekam yang membuat bulu kuduk merinding. Awan tebal menutupi bulan, menciptakan kegelapan yang pekat. Aku, Fajar, melangkahkan kaki di jalan setapak yang biasa kulewati, namun malam ini, rasanya berbeda.
Di depanku, berdiri sebuah rumah tua yang baru saja kubeli. Rumah itu sudah lama kosong, tetapi entah mengapa, aku merasa tertarik padanya. Penduduk desa bilang, rumah itu dihuni oleh sesuatu yang tak terlihat. Mereka sering mendengar suara tangisan, bayangan hitam, dan bau dupa menyengat di sekitar rumah. Tentu saja, aku tidak percaya pada hal-hal seperti itu. Aku adalah seorang arsitek muda yang logis dan hanya percaya pada hal-hal yang dapat dilihat dan disentuh.
Saat aku membuka pintu, bau apak dari debu dan kayu tua langsung menyambutku. Aku menyalakan senter ponselku. Sinar lampu menyorot ke sekeliling ruangan yang dipenuhi perabotan usang yang ditutupi kain putih. Di sudut ruangan, ada piano tua yang kuncinya sudah menghitam. Aku menyentuh salah satu kunci piano, dan tiba-tiba, sebuah melodi lembut terdengar. Aku terkejut, namun dengan cepat menenangkan diri. Mungkin itu hanya angin yang memainkan piano. Tapi... angin kan tidak ada?
Aku mencoba untuk tetap tenang dan menyalakan lampu. Listriknya masih berfungsi. Aku berkeliling ke setiap sudut rumah. Dinding-dindingnya berjamur, wallpaper-nya mengelupas, dan jendelanya tertutup rapat. Aku naik ke lantai dua. Di sana, ada tiga kamar tidur. Salah satunya terkunci. Aku mencoba membukanya, tetapi tidak berhasil. Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki dari lantai bawah.
Langkah kaki itu terdengar berat, seolah-olah seseorang sedang menyeret sesuatu. Aku menahan napas dan mengintip dari celah tangga. Tidak ada siapa-siapa. Namun, suara itu masih terdengar. Langkah kaki itu semakin dekat, dan aku bisa mendengar suara desisan aneh. Aku bersembunyi di balik pintu kamar. Jantungku berdebar kencang. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa itu hanya imajinasiku.
Suara langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu yang terkunci. Aku bisa merasakan napas berat dari sisi lain pintu. Tiba-tiba, pintu itu terbuka dengan sendirinya, dan sebuah boneka porselen tua, kotor, dan retak, jatuh ke lantai. Kepalanya terlepas dari tubuhnya dan matanya kosong. Tiba-tiba, boneka itu tertawa. Bukan, itu bukan suara tawa manusia, melainkan suara tawa dari seorang anak kecil yang serak dan mengerikan.
Aku berteriak dan berlari menuruni tangga. Aku tidak peduli dengan tas atau barang-barangku yang lain. Aku hanya ingin keluar dari rumah terkutuk itu. Aku membuka pintu depan dan berlari sekencang-kencangnya. Aku tidak peduli dengan kegelapan, ketakutan, dan desisan mengerikan yang terus mengejarku.
Ketika aku sampai di jalan utama, aku melihat sebuah mobil berhenti di depanku. Itu adalah Pak Karta, kepala desa. Ia menatapku dengan mata lebar dan panik. "Apa yang terjadi, Nak?" tanyanya.
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa menunjuk ke arah rumah tua itu dengan tangan gemetar. Pak Karta menggelengkan kepalanya. "Aku sudah bilang, Nak. Rumah itu tidak boleh dihuni."
Aku tidak mempedulikannya. Aku hanya ingin pergi jauh dari rumah itu, jauh dari suara tawa mengerikan itu. Aku bersumpah tidak akan pernah kembali lagi.
Bab 2: Firasat dan Kejadian Aneh
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku kembali ke Jakarta. Aku mencoba melupakan semuanya, tetapi kenangan tentang rumah itu, boneka porselen, dan tawa anak kecil itu terus menghantuiku. Aku tidak bisa tidur, dan setiap kali aku memejamkan mata, aku melihat boneka porselen itu.
Aku memutuskan untuk mencari tahu tentang sejarah rumah itu. Aku menelepon Pak Karta. Ia mengatakan bahwa rumah itu pernah dihuni oleh seorang wanita bernama Nyonya Hesti, yang memiliki seorang anak perempuan bernama Lilis. Lilis sangat menyukai boneka porselen. Suatu hari, Lilis hilang. Nyonya Hesti mencari Lilis ke mana-mana, tetapi tidak menemukannya. Nyonya Hesti menjadi gila dan bunuh diri di rumah itu.
Aku merasa kasihan pada Nyonya Hesti dan Lilis. Aku berpikir mungkin arwah mereka masih di rumah itu. Aku mencoba untuk menghubungi seorang paranormal untuk membantu mereka, tetapi ia tidak dapat merasakan energi apa pun dari rumah itu. Ia mengatakan bahwa rumah itu kosong, dan aku mungkin hanya berhalusinasi.
Suatu malam, aku sedang tidur, dan tiba-tiba, aku terbangun karena suara bisikan di telingaku. Suara itu terdengar seperti suara anak kecil yang memanggil namaku. Aku membuka mata, dan aku melihat bayangan seorang gadis kecil berdiri di samping tempat tidurku. Ia mengenakan gaun putih yang lusuh, rambutnya panjang dan hitam, dan di tangannya, ia memegang sebuah boneka porselen.
Aku berteriak, dan bayangan itu menghilang. Aku menyalakan lampu dan memeriksa sekeliling ruangan, tetapi tidak ada siapa-siapa. Aku gemetar ketakutan. Aku merasa bahwa aku telah membawa sesuatu dari rumah itu.
Aku menghubungi Pak Karta dan menceritakan semuanya. Pak Karta menyarankan agar aku kembali ke rumah itu. "Nak, mungkin ada sesuatu yang harus kau selesaikan," katanya.
Aku ragu-ragu. Aku tidak ingin kembali ke rumah itu. Tapi, aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku harus menghadapi ketakutanku. Aku harus mengembalikan Lilis dan ibunya ke tempat yang seharusnya.
Aku kembali ke Rembulan. Pak Karta menungguku di stasiun. Ia memberiku sebuah kunci tua. "Ini kunci kamar yang terkunci itu," katanya. "Nyonya Hesti memberikannya padaku sebelum ia meninggal. Ia bilang, 'berikan ini kepada seseorang yang akan membawa pulang Lilis.'"
Aku menatap kunci itu dengan mata lebar. Aku tidak mengerti apa artinya. Aku bertanya pada Pak Karta, tetapi ia hanya menggelengkan kepalanya. "Masuklah. Kau akan menemukan jawabannya di sana."
Aku memberanikan diri. Aku masuk ke rumah itu dan naik ke lantai dua. Aku memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci, dan pintu itu terbuka dengan suara berderit yang mengerikan. Di dalam kamar itu, ada banyak sekali boneka porselen. Semuanya terlihat seperti boneka porselen yang kulihat sebelumnya. Di tengah-tengah ruangan, ada sebuah peti tua yang terkunci.
Aku membuka peti itu. Di dalamnya, ada sebuah boneka porselen yang terlihat persis seperti boneka yang kulihat di kamar tidurku di Jakarta. Aku mengambilnya. Di bawah boneka itu, ada sebuah surat. Surat itu ditulis tangan oleh Nyonya Hesti.
Isi surat itu berbunyi: "Kepada siapapun yang menemukan ini, tolong bawa putriku kembali kepadaku. Dia tidak akan bisa beristirahat dengan tenang tanpanya. Dia mencintainya lebih dari segalanya. Dia adalah jiwa yang tersesat dan sendirian. Bawa pulang bonekanya, dan bawa pulang Lilis."
Aku menyadari bahwa boneka yang selama ini kulihat adalah Lilis, atau setidaknya, jiwanya terperangkap di dalam boneka itu. Aku memeluk boneka itu dengan erat dan air mata menetes dari mataku. "Lilis, aku akan membawamu pulang," bisikku.
Tiba-tiba, aku mendengar suara tawa riang dari lantai bawah. Itu adalah suara tawa Lilis. Aku melihat ke bawah dan melihat sosok seorang gadis kecil berdiri di dekat piano. Ia menatapku dengan mata yang cerah dan melambaikan tangannya. Aku melihat ibunya, Nyonya Hesti, berdiri di sampingnya, memeluknya dengan hangat.
Aku tersenyum dan melambaikan tanganku ke arah mereka. Mereka menghilang dan aku merasa damai. Aku telah menyelesaikan apa yang harus aku selesaikan. Aku telah membawa Lilis kembali kepada ibunya.
Aku mengambil boneka itu dan keluar dari rumah itu. Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah kembali ke rumah itu, tetapi aku tahu bahwa arwah Lilis dan Nyonya Hesti sekarang beristirahat dengan tenang. Aku telah membantu mereka menemukan jalan mereka pulang.
Bab 3: Pesan Tersembunyi
Beberapa minggu kemudian, aku mengunjungi kembali rumah itu. Aku merasa ada sesuatu yang menarikku kembali. Aku masuk, dan semuanya terasa berbeda. Udara terasa lebih ringan, dan keheningan yang mencekam telah digantikan oleh kedamaian. Aku melihat ke arah piano, dan aku melihat sebuah surat kecil di atasnya.
Surat itu ditulis oleh Nyonya Hesti. "Terima kasih telah membawa putriku pulang," katanya. "Sekarang, aku bisa beristirahat dengan tenang."
Aku tersenyum. Aku merasa lega. Aku berjalan menuju pintu dan bersiap untuk pergi, tetapi aku merasakan sesuatu menarik kakiku. Aku melihat ke bawah dan melihat bayangan anak kecil. Bayangan itu menunjuk ke sebuah sudut di ruangan itu. Aku mengikuti arah tangannya dan menemukan sebuah boneka porselen kecil yang retak. Di tangannya, ia memegang sebuah kertas yang dilipat.
Aku mengambil kertas itu. Di dalamnya, ada sebuah pesan yang ditulis dengan tulisan tangan Lilis. "Aku tidak ingin pulang," katanya. "Ibuku berbohong. Ia yang membunuhku. Ia menjebak jiwaku di dalam boneka ini. Aku ingin balas dendam."
Aku membeku. Aku tidak percaya apa yang kubaca. Aku melihat ke arah tangga dan melihat bayangan Nyonya Hesti, tersenyum sinis. Aku menyadari bahwa aku telah tertipu. Aku telah membawa Lilis kembali kepada pembunuhnya. Aku telah membuat kesalahan fatal.
Tiba-tiba, pintu depan tertutup dengan suara keras. Aku mendengar suara langkah kaki dari lantai atas. Suara langkah kaki itu terdengar berat, seolah-olah seseorang sedang menyeret sesuatu. Kali ini, tidak ada suara desisan. Hanya langkah kaki yang menyeret dan tawa yang mengerikan. Aku tahu bahwa ini bukan akhir. Ini adalah awal dari mimpi buruk.